Bila terjadi kontroversi seputar sirkumsisi pada anak/bayi laki-laki, nampaknya semua mudah sepakat tentang sunat pada bayi perempuan. Pada beberapa komunitas, dilakukan praktek sunat perempuan yang diserupakan dengan sirkumsisi pada laki-laki. Karena klitoris merupakan “kembaran” penis, maka kulit di sekitar klitoris juga harus dibuang, seperti membuang preputium. Bahkan ada yang sampai memotong klitorisnya itu sendiri.
WHO mencatat ada 4 tipe female genital mutilation. Tindakan “memotong kulit di sekitar klitoris” (yang sejenis dengan preputium pada penis) merupakan tipe paling ringan. Sulit dibayangkan bagaimana kondisi dari tipe-tipe yang lebih berat.
Tindakan ini tidak dikenal sama sekali dalam dunia medis. Pemotongan atau pengirisan kulit sekitar klitoris apalagi klitorisnya sangat merugikan. Tidak ada indikasi medis untuk mendasarinya. Seorang bidan di Jawa Barat pernah mengulas tentang hal ini karena menemukan bekas-bekasnya pada pasiennya. Kenyataannya memang ada kelompok yang meyakini bahwa anak perempuan pun diwajibkan menjalani khitan. Dan praktek tersebut dilakukan juga, bahkan di pusat-pusat pelayanan kesehatan.
Sekitar 1 tahun lalu, Kementrian Pemberdayaan Wanita mengeluarkan seruan untuk menghentikan medikalisasi sunat perempuan. Namun, saya memandang seruan ini harus dikaji secara komprehensif.
Praktek sunat pada perempuan (SP) sudah ada sejak jaman sebelum masehi. Penelitian anthropologi mendapatkan praktek tersebut pada mummi mesir yang justru ditemukan pada kalangan kaya dan berkuasa, bukan oleh rakyat jelata. Ahli antropologi menduga pada jaman kuno sunat untuk mencegah masuknya roh jahat melalui vagina.
Survei epidemiologi WHO menemukan beberapa alasan melakukan SP seperti identitas kesukuan, tahapan menuju wanita dewasa, pra-syarat sebelum menikah juga pemahaman seperti klitoris merupakan organ kotor, mengeluarkan sekret berbau, mencegah kesuburan atau menimbulkan impotensi bagi pasangannya. Banyak hal medis terkait dengan alasan FGM ini kemudian terbukti salah.
Sebagai dokter saya mendapati praktek SP bukan monopoli mereka yang “terbelakang”. Saat ini tidak sedikit keluarga muda, sarjana, bekerja dan hidup di perkotaan, justru bersemangat melakukannya terhadap anaknya, bahkan meski mereka sendiri di masa kecilnya tidak mengalaminya. Semangat menjalankan agama nampaknya berpengaruh dalam hal ini.
Menurut berita tersebut, medikalisasi harus dilarang meskipun filosofinya adalah mengurangi risiko kesehatan daripada dilakukan oleh bukan tenaga medis. Langkah ini dianggap berbahaya karena menggunakan peralatan seperti pisau, jarum dan gunting.
Memang, sekilas gambaran medikalisasi SP menakutkan karena penggunaan-penggunaan alat-alat seperti itu. Tetapi yang saya ketahui dan pernah baca di media, yang dilakukan adalah membuat perlukaan kecil pada daerah klitoris. Bahkan, banyak yang hanya mempraktekkan “sunat psikologis” dimana sekedar ditoreh sedikit dengan ujung jarum, keluar setetes darah, dan orang tua pasien sudah puas. Bahkan kadang, seperti yang juga saya lakukan selama bekerja di klinik Ibu-Anak dulu, hanya di”sandiwara”kan dengan meneteskan cairan antiseptik sewarna darah, yang sekaligus diteruskan dengan pembersihan daerah sekitar klitoris.
Perlu disadari, dalam hal ini kita berhadapan dengan orang tua yang merasa memiliki kewajiban untuk melakukan tindakan tersebut terhadap anaknya. Ketika ini sudah berkaitan dengan soal keyakinan agama, maka persoalannya tidak lagi sederhana, yang berujung pada perilaku kesehatan. Rasanya kita semua mengerti bahwa menghadapi masalah perilaku, tidak sekedar soal larang-melarang.
Yang menarik, sebenarnya tuntunan agama dalam hal ini pun menyebutkan “Sentuh sedikit saja dan jangan berlebihan, karena hal itu penyeri wajah dan bagian kenikmatan suami“. Bukankah berarti menjadi cocok dengan pilihan para petugas medis yang hanya “menorehkan” sedikit luka tersebut? Dan bukankah berarti praktek yang sampai beberapa tipe tersebut sebenarnya tidak dilandasi pemahaman agama yang tepat?
Soal kesehatan reproduksi wanita ditonjolkan oleh kelompok “penentang” SP, tetapi bagaimana dengan makin maraknya body-piercing bahkan terhadap alat kelamin di kalangan wanita? Kalau soal hak menentukan pilihan sendiri yang berikutnya ditonjolkan, bukankah sunat perempuan pun merupakan pilihan sendiri sesuai keyakinannya? Bagaimana juga kalau dipertanyakan kewajiban negara untuk melindungi kebebasan warganya menjalankan keyakinan agamanya sebagai bagian dari hak asasi manusia?
WHO sendiri memang juga berpendapat tidak boleh ada praktek FGM oleh tenaga kesehatan. Tetapi European Journal of Obstetrics and Gynecology bulan Oktober 2004 lalu menganalisa bahwa usaha terbaik untuk mengatasi praktek sunat perempuan harus berupa pendekatan yang non-direktif, sesuai dengan kultur lokal dan dari banyak sisi (multi-factes).
Wujudnya berfokus pada peranan kelompok masyarakat itu sendiri dalam mensikapi praktek FGM, dengan muaranya adalah munculnya keputusan mandiri, bukan atas program dari luar.
Pengalaman di beberapa negara, pendekatan legal-formal secara direktif justru menimbulkan resistensi. Bisa dibayangkan kalau tenaga medis benar-benar dilarang “melayani” sunat perempuan, bukankah justru membuka lebih lebar peluang praktek secara “tradisional”.
Pengalaman di Kenya menunjukkan, justru melalui medikalisasi secara perlahan bisa dicapai pemahaman masyarakat yang lebih proporsional soal SP. Sebagian masyarakat memang tetap menganggapnya sebagai kewajiban, tetapi kepedulian terhadap risiko kesehatan membuat mereka lebih berhati-hati. Wujudnya dengan memilih tipe FGM yang berisiko minimal (tipe paling ringan atau sekedar sunat-psikologis), bahkan masih ditambah meminta injeksi anti-tetanus sebagai tindakan pencegahan.
Penggunaan jarum, pisau atau gunting oleh tenaga medis disamping prosedur tindakan yang memenuhi prinsip aseptik dan anti-septik, tidak bisa dibantah akan meminimalkan risiko kesehatan. Bukankah ini juga yang dikehendaki bersama?
Yang harus diatur, menurut penulis, justru tidak boleh ada praktek sunat perempuan bukan oleh tenaga yang tersertifikasi. Selanjutnya kepada tenaga medis diterbitkan aturan standar praktek sunat perempuan, dengan mengacu pada risiko minimal. Bukankah alasan ini pula yang mendasari sikap Depkes soal pengaturan tindakan aborsi?
Lebih jauh lagi, para tenaga medis bisa memberikan banyak penjelasan soal kesehatan reproduksi, terutama bagi wanita. Para orang tua lebih bisa menerima penjelasan ini, karena tenaga medis tidak harus menunjukkan “resistensi” terhadap keinginan mereka memenuhi kewajiban sunat bagi anaknya. Pengalaman di beberapa negara, kondisi positif seperti ini justru tidak bisa diperoleh kalau pelayanan sunat perempuan oleh tenaga medis di larang pemerintah. Bahkan tidak jarang usaha penyuluhan dianggap sebagai usaha merusak kebudayaan lokal.
Kita sebenarnya memiliki banyak pengalaman soal pendekatan yang culture-spesific misalnya mensikapi kebiasan footbinding (gedhong, bedhong) terhadap kaki bayi-bayi yang dulunya juga dilandasi soal “kemuliaan wanita”. Secara perlahan orang tua lebih proposional memandang kebiasaan tersebut dengan pemahaman yang tepat.
Sementara itu, pendekatan multi-facets harus melibatkan pihak-pihak seperti organisasi keagamaan, mengingat bagaimanapun itu alasan yang mendominasi praktek sunat perempuan di Indonesia, agar diperoleh kesamaan pandangan agama soal sunat perempuan. Kurikulum kesehatan reproduksi yang marak diusulkan juga wahana yang baik untuk mendidik pemahaman masyarakat.
Muara dari langkah tersebut, pada akhirnya masyarakat akan mampu membuat keputusan sendiri soal sunat perempuan. Dalam proses menuju kesana, tindakan seperti melarang tenaga medis melayani sunat perempuan, hanya akan menjadikan batu sandungan. Alih-alih mampu menghentikan, bukan tidak mungkin justru menjadi bumerang.
Sumber: Dokter Tonang
No comments:
Post a Comment