Awalnya, Sofin Hadi tidak bercita-cita untuk menjadi dokter. “Setelah lulus SMAN 9 tahun 1982, saya diterima di IPB, UGM, UNS dan IKIP Negri Yogyakarta. Tapi guru saya, Bu Sunarti menyarankan agar saya masuk Kedokteran. Padahal pilihan pertama saya di Teknik Sipil UGM. Kata beliau, jarang lulusan SMA yang diterima di Fakultas Kedokteran UGM. Saran itu saya turuti.
Setamat dari Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta, tahun 1991, Sofin bekerja di RS Pertamina, Bontang, Kalimantan Timur sampai 1993. Karena adanya peraturan baru, ia kemudian diwajibkan untuk menjalani dinas dokter PTT (pegawai tidak tetap) dan ditempatkan di Puskesmas Merden, Banjarnegara, Jawa Tengah sampai 1996. Setelah itu Sofin dipercaya Yayasan Muhammadiyah untuk mendirikan RS PKU Muhammadiyah di situ dan sekaligus ia ditunjuk sebagai direkturnya sampai sekarang. Dasarnya suka teknik, sampai-sampai, rumah sakit yang saya pimpin juga saya gambar, rancang dan saya mandori sendiri pembangunannya”, tutur Sofin.
Di desa Merden inilah dr. Sofin Hadi sering mengkhitan. “Seperti kebanyakan masyarakat di sini, khitanan merupakan peristiwa besar. Jadi pakai menanggap hiburan segala. Untuk pelaksanaan khitan pun dipilih yang termahal, terbaik dan tercanggih alatnya. Bahkan yang kurang mampu pun sering memaksakan diri minta obat yang terampuh agar anaknya tidak kesakitan dan cepat sembuh”, kata Sofin.
Terdorong ingin memberikan pelayanan terbaik, tahun 1997 ia ikut-ikutan teman sesama dokter membeli cauter. Yaitu alat untuk menghentikan pendarahan, dari yang harga murah hingga yang mahal. “Saya juga membeli electro cautery sampai alat sinar laser seharga 10 juta rupiah. Tetapi hasil akhirnya tetap saja si anak harus melepas perban dan kesakitan”, ujarnya.
Hingga kemudian ada teman sejawatnya yang bilang bahwa di Jakarta ada alat khitan yang metodenya seperti dilaminating. Setelah ia ke Jakarta, alat itu ternyata tidak ada. Temannya yang lain ada lagi yang bilang bahwa di Semarang, ada alat khitan yang proses akhirnya seperti dikelim saja. “Saya pikir hebat sekali. Tetapi setelah saya cari, nyatanya juga nggak ada”.
Tahun 1999, mulai terlintas keinginan untuk membuat metode khitan sendiri tanpa keluar darah dan juga tidak memerlukan jahitan dengan mulai mereka-reka alat-alat yang akan digunakan. Ketika kemudian ada yang minta dikhitan, ia pun mencobakan hasil rekaannya tersebut, yakni dengan membuka ujung penis kemudian dipasang potongan spuit suntikan yang ia sebut penahan. Penahan itu dijepit dengan alat yang biasa digunakan di dunia medis, namun ternyata cara ini tidak nyaman, karena kemana pun si anak, penjepitnya harus ikut terus. Selain itu si anak juga jadi kesulitan untuk kencing.
Awal tahun 2000, Sofin mencoba lagi, kali ini penjepitnya diganti dengan benang yang ditalikan ke penahannya. Pada awalnya sukses, tapi kemudian alat kelamin si anak jadi berdarah. Ternyata benangnya lepas. Jika terjadi demikian, terpaksa kemudian ia harus melakukan khitan ulang secara konvensional.
Desember 2000, ketika Sofin mengganti oli mobil di bengkel, ia melihat orang membeli satu set ring yang terbuat dari karet dengan bermacam-macam ukuran. Saat itulah timbul idenya untuk memasangkan ring itu di tengah penahan khitan. Sayangnya, ia kesulitan menemukan alat untuk memasukkan ring itu ke tengah penahan. Sampai ia sempat mencoba menggunakan alat penjepit bulu mata. Namun hasilnya tetap gagal.
Akhirnya pada suatu malam di bulan Juli 2001, dr Sofin mengeluarkan seluruh peralatan operasi dan mengutak-atiknya. Di situlah ia mendapatkan alat yang bisa dipakai untuk memasang ring pada penahannya. “Saya sampai teriak, ketemu! Anak-anak saya yang sudah siap tidur sampai tanya, saya menemukan apa?” tuturnya.
Setelah itu, ia mendapat telepon dari temannya yang mau menikahkan anaknya dan meminta dia untuk mengkhitan calon menantunya yang akan masuk Islam. Jadilah hari itu, Minggu, 8 Juli 2001, si calon menantu yang datang kepadanya 2 jam sebelum menikah, dikhitan dengan metode cincin memakai aplikator yang baru dia temukan dan digunakan untuk pertama kalinya. Hasilnya pun memuaskan seperti diakui oleh pria tersebut. Setelah keberhasilannya ini, semakin banyak yang kemudian berkhitan dengan metode cincin temuannya. Mereka berdatangan dari Jakarta, Tegal dan Kudus.
Dr Sofin juga mengkonsultasikan temuannya dengan para dokter spesialis di RS PKU Muhammadiyah, Merden. Merekalah yang kemudian juga mendorongnya untuk mematenkannya. Adapun temuannya ini ia namakan “Sunat Cincin Metode Sofin”. Metode ini juga terbukti lebih ekonomis, aman dan praktis daripada cara konvesional. Biaya alat-alatnya hanya berkisar Rp 1.000,- saja, prosesnya lebih cepat (dr Sofin memperagakan pengkitanan 2 anak hanya dalam waktu 2 menit), hasilnya lebih rapi, ramah lingkungan, tidak banyak membuang kassa dan darah seperti halnya sunat konvensional. Orang yang baru disunat dengan cara biasa memerlukan obat bius dosis tinggi yang dari segi kimianya tidak ramah bagi tubuh. Metode khitan tanpa luka ini juga cocok bagi penderita hemofilia yang jika terluka dan berdarah sulit berhenti.
Pada Sabtu, 13 Oktober 2001, dr Sofin Hadi (37) mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI). Pihak MURI sendiri sebelumnya juga telah meminta rekomendasi dari IDI dan alim ulama atas temuan dr Sofin ini. Penghargaan berupa sertifikat pemecahan rekor ke-618 tersebut diberikan karena Sofin adalah orang pertama yang menemukan metode khitanan tanpa luka. “Bagi saya, ini merupakan bentuk pengakuan dari masyarakat atas hasil kerja saya. Jadi bukan sesuatu yang harus dibanggakan”, ujar Suami Kuswarasari Utami yang telah dikaruniai empat anak ini. (Rini Sulistyati) --- Sumber: Tabloid Nova, 11 November 2001 dan Harian Suara Merdeka, Selasa, 16 Oktober 2001.
No comments:
Post a Comment